Pengalaman hari ini pulang dari kampus menuju ke daerah kopassus kartasura. Aku berjalan santai maksimal rata-rata hanya 60 km/h. Cuaca panas dan ramai pada jam siang, membuatku harus ekstra hati-hati. Seringkali saat berhenti di lampu merah aku berjumpa dengan orang-orang yang cukup membuatku tertawa, Kebut-kebutan. Mereka menganggap lampu merah adalah lampu aba-aba untuk balapan motoGP.
Nah kejadian terjadi di daerah ngemplak solo. Dimana seorang
bapak-bapak mengerem mendadak, langsung berbelok kanan sambil menyalakan lampu
isyarat ritting. Kontan aku tidak bisa menguasai panic break. Dan brak!!!!
“masyyaallah” aku menyenggol dari belakang, sambil aku menjaga setang tetap
stabil.
Reflek aku bunyikan klakson berkali-kali untuk memberi tanda
ada kecelakaan, sambil ku buka kaca helm dan ku pandangi si bapak sambil terus
menyalakan klakson berkali-kali yang aku tujukan kepada si bapak. Dia melihatku
sebentar dan memeriksa kakinya yang mungkin kesenggol machine guard pada motor
ku. Dan kaki ku masih aman berkat
machine guard. Aku masih terus membunyikan klakson dan terus kupandangi, aku
tarik nafas dalam-dalam dan aku hembuskan... emosiku berkurang “huh, dasar.
Punya sim kagak sih, tau kapan jarak saat membelokan lampu syarat ga sieh?”
Yah begitulah pengalamanku, lampu ritting memang digunakan
sebagai isyarat untuk berbelok. Tapi ingat, bukan untuk memotong jalan orang
lain. Saat berbelok pun selain wajib terlebih dahulu menyalakan lampu ritting.
Ada hal yang perlu diperhatikan. Melihatlah spion, lihat apakah situasi aman
dari arah belakang, dan melihat amankah dari arah berlawanan? Dan orang lain
pun harus kapan saat nya untuk berbelok, bukan mendadak kayak bapak-bapak
tadi... iya Cuma kalo ditabrak sesama motor, kalo truck gandeng? Emangnya elo
mau nyumbang nyawa?
No comments:
Post a Comment